Dakwah Strategi Budaya

berdakwah tidak boleh dengan menyakiti hati masyarakat, sebaliknya proses dakwah harus dengan senantiasa menjaga perasaan masyarakat,

Editor: Aldy

Ada sebuah kisah menarik yang berkembang dalam tradisi lisan masyarakat Sulawesi Selatan di kampung-kampung. Suatu ketika Nabi Muhammad berjumpa dengan Sawerigading, keduanya terlibat pertarungan intelektual-spiritual dan adu ilmu kanuragan. Nabi Muhammad digambarkan sebagai sosok manusia yang memiliki ilmu yang luas dan dalam sekaligus sakti manraguna, dalam kisah itu Sawerigading menyerah dan mengaku kalah.
Kemudian menyerahkan semuanya kepada Nabi Muhammad, termasuk menyerahkan urusan ajaran (agama) masyarakat Sulawesi Selatan kepada Sang Nabi. Cerita itu begitu masyhur dalam kisah-kisah penyebaran ajaran Islam di Sulawesi Selatan. Entah cerita itu benar atau tidak, bukanlah itu yang menjadi soal. Tetapi konstruk pemikiran yang dibangun oleh para Ulama kita yang berusaha membawa ajaran Islam masuk ke alam kesadaran kolektif masyarakat lokal yaitu kesadaran kultural akan sosok Sawerigading yang tersebut dalam kitab La Galigo, kitab yang menjadi sumber informasi kesejarahan masyarakat Sulawesi Selatan.
Dalam kisah ‘pinggiran’ tersebut, Islam ditampilkan sebagai agama yang hadir dalam urat nadi kebudayaan, bukan agama yang justru menggusur kebudayaan masyarakat.

Psikologi Dakwah
Berdakwah di tengah masyarakat, tidak hanya membutuhkan pengetahuan dan pemahaman ajaran agama benar, tetapi juga pengetahuan dan pemahaman tentang etika sosial dan cara bermasyarakat yang baik, dengan senantiasa mempertimbangkan realitas sosio-kultural dimana ajaran itu hendak dibumikan.
Upaya melaksanakan amar ma’ru nahi mungkar sebagai sebuah misi dakwah yang utama, haruslah dilandasi dengan cinta. Bukan dengan kebencian yang justru seringkali membuat upaya dakwah menjadi gagal, karena sikap yang tidak bersahabat.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. 16:125, ayat tersebut mengisyaratkan sebuah perintah berdakwah yang mencerahkan dan menyejukkan, bukan justru dengan membangun ketakutan apalagi kebencian terhadap orang/kelompok lain. berdakwah tidak boleh dengan menyakiti hati masyarakat, sebaliknya proses dakwah harus dengan senantiasa menjaga perasaan masyarakat, disinilah dibutuhkan strategi komunikasi dakwah yang baik.
Belakangan muncul fenomena dakwah yang berusaha menjauhkan agama dengan tradisi dan budaya masyarakat yang telah ada berpuluh bahkan berabad-abad lamanya. Padahal dalam kenyataannya Rasulullah Muhammad kerapkali menjadikan kebudayaan (‘urf) masyarakat Arab sebagai basis normatif dalam menyampaikan risalah Islam, baik yang berdimensi ibadah maupun mu’amalah.
Salah satu contoh adalah tradisi thawaf (mengelilingi ka’bah) dengan tanpa busana yang dilakukan oleh masyarkat Arab pra-Islam, walaupun hal itu (bertelanjang) bertentangan dengan ajaran Islam, namun budaya thawaf itu tidak sama sekali dihilangkan, tapi direvisi dengan menyediakan alternatif yaitu dengan menggunakan pakaian ihram (yang suci dan bersih). Bahkan thawaf kemudian menjadi salah satu rukun haji yang disepakati oleh jumhur ulama.
Hal tersebut bukan berarti adanya keniscayaan sebuah tradisi dan budaya dalam masyarakat dapat menjadi syari’at baru dalam Islam, namun lebih pada hikmah bahwa ternyata Islam sebagai ajaran yang sempurna, terkait erat dengan proses kebudayaan yang berlangsung dalam masyarakat. Itulah mengapa penyebaran ajaran Islam di Nusantara dengan strategi dakwah cultural, terbukti berhasil dengan gemilang.

Pendekatan Budaya
Dakwah dengan pendekatan budaya juga pernah dicontohkan oleh Kiai Chudori pendiri pesantren Tegalrejo - Magelang, Sekitar tahun 1957-1958 muncul sedikit ketegangan antara komunitas pesantren dan masyarakat desa perihal penggunaann dana desa. Pihak pertama menghendaki dana tersebut untuk renovasi masjid yang sudah tidak bisa menampung jamaah. Sementara pihak masyarakat desa menginginkan dana itu untuk pembelian gamelan bagi pengembangan kesenian reog desa, perdebatan menjadi alot dan lurah tidak bisa memutuskan, persoalan ini akhirnya dibawa ke Kiai Chudori. Jawaban sang kiai cukup telak: kesenian reog diutamakan. Logika beliau, kalau kesenian itu maju, maka mereka akan menyemarakkan pesantren, dan juga akan memakmurkan masjid, dan ketika mesjid diperhatikan oleh mereka, tentu mereka akan berjuang untuk memperluas dan mengembangkannya pula, apa yang dikatakan kiai Chudori benar-benar terjadi selang beberapa lama setelah kejadian itu (Ahmad Baso : 2012).
Apa yang dicontohkan Kiai Chudori mungkin bagi sebagian orang adalah sesuatu yang tak lazim dilakukan oleh seorang tokoh Agama, namun itulah kecerdasan para Kiai kita dulu, mereka tidak saja memiliki pengetahuan agama yang luas dan dalam, tetapi juga memahami betul bagaimana strategi dakwah agar ajaran Islam dapat hadir dalam urat nadi kebudayaan masyarakat, sesuatu yang begitu langka di era ini.
Jauh sebelumnya, hal itu telah dilakukan oleh Wali Songo di Jawa dan tiga Datuk yang menyebarkan Islam di Sulawesi selatan, serta ulama-ulama sebelum dan setelahnya, mereka lebih menggunakan strategi dakwah dengan pendekatan kebudayaan. Strategi dakwah kultural lebih mengedepankan dialog dan proses sosialisasi yang berlangsung secara gradual, dakwah model ini membutuhkan ekstra-kesabaran karena menekankan pada harmonisasi hubungan masyarakat dan menghindari terjadinya gesekan sosial.

Dakwah dengan strategi kultural, terbukti lebih ampuh dan langgeng, pesan terdalam dari agama dapat tersampaikan kepada masyarakat secara elegan, hal itu tentu berbeda dengan strategi dakwah dengan menggunakan otoritas tertentu, seperti otoritas politik, ekonomi dan sebagainya. Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq. (*)

Oleh:
M. Fadlan L Nasurung
Komunitas Gusdurian Makassar

Sumber: Tribun Timur
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2024 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved